MASUK DAN PERKEMBANGAN ISLAM DI PROVINSI JAMBI
(Study : Peranan Alawiyin Di Jambi Pada Abad Ke XVII)1
1.
Masuk dan berkembangnya Islam di
Jambi
Secara geografis
Jambi memang memiliki nilai strategis di jantung alur pelayaran laut lokal,
Nasional maupun Internasional karena kedekatan dengan selat Malaka yang
menjembatani hubungan pelayaran dari belahan barat dan timur maupun utara
dunia. Tak dapat di sangkal wilayah Jambi melalui pelabuhannya mendapat
persentuhan budaya luar yang bersifat simboistis maupun alkulturasi.
Temuan
Prasasti persumpahan kedatuan Sriwijaya di desa Karangberahi kecamatan Pemenang
kabupaten merangin yang diindikasikan sama tarihnya dengan tiga batu
persumpahan Sriwijaya yaitu Prasasti kota kapur di Bangka, Prasasti Palas
Pasemah di Lampung Selatan maupun Prasasti kedukan bukit di Palembang Sumatera
selatan bertahun saka 608 atau 686 Masehi. Pada Prasasti itu tertera pahatan
huruf Palawa dalam bahasa Melayu kuno. Tanpa adanya perkaitan hubungan asal
huruf Palawa atau adanya kesepahaman penggunaan huruf yang berasal dari India
itu tak kan mungkin masyarakatnya dapat membaca. Jelasnya apakah Sriwijaya atau
Melayu kala itu sudah ada hubungan dengan belahan anak benua India tersebut.
Hubungan
kebelahan dunia lain, dibuktikan oleh adanya sumber Arab yang menceritakan ada
dua pucuk surat yang dikirim oleh Maharaja Sriwijaya (?) kepada dua khalifah
ditimur tengah seperti di kupas SQ Fatimi dalam “Two Letters From Maharaja to
the Khalifah, Islamic Studies (Karachi-1963)”4
Surat
pertama terkutip bagian pendahuluannya saja yang secara beranting di dengar
oleh Al-Jahizh dari Al-Haytsam bin Ali (732-822) dari Abu Ya`qub Al-Tsaqafi
yang didengarnya dari Abd Al- Malik bin Umayr (653-753) yang melihat surat itu
pada diwan (Sekretaris) Mu`awiyah setelah wafatnya.
Al-Jahizh
meriwayatkan cuplikan pembukaan surat itu sebagai berikut : (Dari Raja Al-Hind-
atau tepatnya kepulauan India) yang kandang binatangnya berisikan seribu gajah,
(dan) yang Istananya terbuat dari emas dan perak, yang dilayani seribu Puteri
Raja-raja dan yang memiliki dua sungai besar (Batanghari dan Musi) yang
mengairi pohon Gaharu (Aloes) kepada Mu`awiyah”
Dua sungai
besar (Batanghari dan Musi) membawa kita pada identifikasi kerajaan Sriwijaya
atau Kerajaan Melayu (Mo-Lo-Yeu)lah yang mengadakan hubungan Diplomatik dengan
Khalifah Mu`awiyah. Lebih khusus lagi bila di kaitkan dari catatan pendeta Cina
I-Tsing yang singgah di Mo-Lo-Yeu tahun 672 M dan lima belas tahun kemudian
(687 M) ia datang lagi ke Sriwijaya dicatat I-Tsing bahwa Mo-Lo-Yeu menjadi
bagian Sriwijaya5.
Artinya Raja Al-Hind dimaksud adalah raja kerajaan Sriwijaya yang wilayahnya
sudah termasuk kerajaan Melayu, disekitar masa tahun 687 M yang Rajanya bernama
Jayanasa.
Surat kedua
jauh lebih lengkap seperti yang di nukil Ibn Abd Al Rabbih (860-940) dalam
bukunya Al-Igd Al-Farid. Surat kedua ini dialamatkan kepada Khalifah Umar bin
Abd Al Aziz (717-720), yang tertulis :
Nua`ym bin
Hammud menulis “Raja Al-Hind (kepulauan) mengirim sepucuk surat kepada umar bin
Abd Aziz yang berbunyi sebagai berikut : “Dari Raja di Raja (Malik Al
malik-Maharaja) yang adalah keturunan seribu raja ; yang isterinya juga adalah
anak cucu seribu Raja yang dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah,
yang wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon Gaharu, bumbu-bumbu
wewangian, Pala dan kapur barus yang semerbak wewanginya sampai menjangkau
jarak 12 mil ; kepada Raja Arab(Umar bin Abd Al-Aziz) yang tidak menyekutukan
Tuhan-Tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada anda hadiah yang
sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sebagai sekedar
tanda persahabatan ; dan saya ingin anda mengirimkan kepada saya seseorang yang
dapat mengajarkan Islam kepada saya, dan menjelaskan kepada saya hukum-hukumnya
(atau di dalam versi lain yang akan mengajarkan Islam dan menjelaskan kepada
saya)6.
Surat kedua
yang diprediksikan Azyumardi di buat oleh Maharaja Sriwijaya. Sri Indrawarman
yang dalam sumber Cina di sebut Shih-li-f `o-pa-mo. Di akui Azyumardi nama Cina
ini menginsyaratkan bahwa Maharaja ini belum lagi menjadi pemeluk Islam.
Penulis sependapat dengan komitmen ini malahan sampai sekitar tahun 1178 Raja
Sriwijaya tetap bernama yang tidak bercirikan Islam7.
Hubungan
diplomasi dan perdagangan seperti itu bisa terjadi bukan saja sesama Muslim
(Islam). Sejumlah duta penguasa Sriwijaya maupun kerajaan Melayu Jambi di
laporkan dalam kronik Cina dipimpin saudagar Muslim (Arab) bernama Sulaiman
atau P`u Ali yang menurut Hirth dan Rockhild adalah seorang pedagang. Arab yang
sebenarnya bernama Abd Ali. Duta-duta ini bisa saja pedagang Arab yang kapalnya
berlabuh di pelabuhan kerajaan Sriwijaya/Melayu yang kemudian diminta penguasa
memimpin delegasi duta-dutanya menghadap kaisar Cina8.
Satu hal
yang menjadi ganjalan sehingga penulis meragukan surat itu berasal dari
Maharaja Sriwijaya Sri Indrawarman adalah informasi yang termuat pada “Yang
wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon-pohon Gaharu bumbu-bumbu
wewangian, Pala dan Kapur Barus” Sampai sejauh ini belum ditemukan informasi
bukti bahwa di Sriwijaya/Melayu (ada) menghasilkan Kapur Barus. Kapur Barus
terkenal sampai ke mesir berasal dari Barus sehingga mendapat nama Kapur Barus.
Sumber-sumber Cina mulai abad ke 6 M banyak menyebut Barus sebagai tempat
kamper. Catatan tertulis tertua mengenai Kamper ini berasal dari awal abad ke 4
M yaitu dalam kumpulan dokumen “surat-surat lama” yang ditemukan di Donhuang
yang ditulis oleh pedagang Sogdian dengan istilah “Kprwh” Kronik Dinasti Liang
(502-557) menyebut kanper dengan Po-Lu-Xiang, Kanper dari Po-Iu. Po-Lu sendiri
adalah sebutan untuk Barus9.
Dari
gambaran geografis Barus memiliki dua buah sungai yaitu Aek Busuk disebelah
barat laut dan Aek Maco/Aek Rajo di sebelah Tenggara. Kawasan ini pernah
dilakukan penggalian arkeologi di situs Lobu Tua pada tahun 1978 dan 1985.
Dari
temuan-temuan Prasasti di situs Lobu Tua di sintetiskan membawa dugaan para
efigrafi bahwa situs Lobu tua di huni mulai pertengahan abad ke 9 hingga akhir
abad ke 11 M. Dalam teks Xintang Shu yang disusun pada pertengahan abad ke 11 M
menurut Wolters10
menggambarkan satu zaman sebelum 742 M Sriwijaya dibagi menjadi dua kerajaan
yang mempunyai pemerintahan sendiri dan yang paling barat di sebut Lang-Po-Lu-Si
(Barus). Kerajaan ini menghasilkan banyak emas, air raksa dan Kamper. Wolter
menyebutkan catatan itu menggambarkan Barus sebagai suatu kawsan atau mungkin
sebagai satu jaringan Sriwijaya yang berpusat di ujung utara pulau Sumatera.
Hubungan Barus dengan belahan Timur Tengah di perkuat oleh temuan sebuah cap Jimat oleh Tim Arkeologi Indonesia Perancis tahun 1997 di situs lobu Tua11. Cap Jimat ini terbuat dari kaca tembus pandang berwarna hijau tua berbentuk lonjong dengan pinggir bawah berlekuk. Inskripsi dua baris dalam bahasa Arab relif timbul kata “Allah dan Muhammad” cap Jimat ini diyakini barang Impor berasal dari Abab ke 10-11 dan di duga dari Iran atau Khurazan karena benda kaca sudah lama di kenal di daerah tersebut. Historiografi tradisional Aceh menceritakan bahwa leluhur para Sultan, Kesultanan Aceh adalah seorang keturunan Arab yang bernama Syaikh Jamal Al`Alam yang di utus oleh Sultan Usmaniyah untuk mengislamkan Rakyat Aceh dan cerita lain menyebut Syaikh Abdullah Arif keturunan Arab yang telah mengislamkan wilayah Aceh. Historiografi ini patut diduga berkaitan dengan Surat Raja Al-hind abad ke-7
Seminar
sejarah masuknya Islam ke Indonesia di Medan tanggal 17-20 Maret 1963
menyimpulkan12
:
1.
Sebagaimana kita ketahui bahwa Islam
pertama sekali masuk ke Indonesia adalah pada abad pertama hijrah atau abad
ketujuh dan kedelapan Masehi langsung dari Arab.
2.
Wilayah pertama masuk Islam adalah
Pesisir Sumatera (Samudra Pasai atau Peureulak), setelah terbentuknya
masyarakat Islam maka Raja Islam pertama berada di Aceh.
3.
Untuk proses pengislaman selanjutnya
orang-orang Indonesia ikut secara aktif dalam pelaksanaannya.
4.
Semua mobaligh Islam dahulu selain
sebagai para penyebar Islam di Nusantara juga menjadi saudara sesama Muslim.
5.
Penyiran agama Islam pertama di
Indonesia dilakukan secara damai.
6.
Kedatangan Islam ke Indonesia
membawa kecerdasan dan peradaban yang tinggi dalam membentuk kepribadian bangsa
Indonesia.
Dr. Hamka juga
membuat Rangkuman bahwa :
1.
Agama Islam telah datang ketanah air
sejak abad pertama Hijrah (abad ke 7 M) yang di bawa oleh saudagar-saudagar
Islam dari Arab sebagai pelopor dan di ikuti oleh orang-orang Persia serta
Gujarat.
2.
Karena penyebaran Islam itu tanpa
kekerasan dan tidak ada penaklukan negeri, maka penyebarannya berjalan secara
berangsur-angsur.
3.
Mazhab Syafi`i telah menjadi
pegangan bagi penyebar dan penerima Islam sehingga terbukti pada Raja Islam
Samudra Pasai yang alim dan Ahli Figh Mazhab Syafi`i.
4.
Kedatangan para ulama Islam dari
luar Negeri ke Aceh memperkuat pemahaman Mazhab Syafi`i yang telah ditanam Raja-Raja
Pasai.
5.
Dengan tidak menghilangkan
kepribadian muslim Indonesia saya mengakui ramai ulama luar yang datang ke
Negeri ini selain ada ulama-ulama kita yang belajar ke Makkah, Syam, Yaman,
Aden, dan tempat-tempat lain yang mengesankan salafus solihin Indonesia
sehingga Aceh menjadi Serambi Makkah menurut catatan Syekh Nuruddin Ar-Raniry
dalam kitabnya Bustanus Salatin bahwa sebelum pemerintahan Ratu Safiiauddin,
Aceh telah bergelar Serambi Makkah.
Muhammad
Said juga menyimpulkan hasil seminar itu :
1.
Sumber-sumber sejarah Arab
menegaskan bahwa di berbagai Bandar di Sumatera sejak abad ke 9 (catatan
Mas`udi) sudah banyak pendatang Arab yang beragama Islam mendatangani
tempat-tempat di maksud.
2.
Berdasarkan sumber-sumber orang luar
(Arab dan Tionghoa) maka besar kemungkinan bahwa islam telah masuk ke Indonesia
pada Abad pertama Hijriah.
Dari
catatan seminar sejarah masuknya Islam ke Indonesia di Medan itu13jelaslah
bahwa masuknya Islam ke Indonesia pertama sekali di kepulauan Melayu Sumatera
yang dalam hal ini dari bumi Aceh. Selanjutnya Islam berkembang hampir merata
ke pelosok tanah Melayu. Beberapa kerajaan Islam muncul seperti Samudera Pasai,
Malaka, Aceh, Johor, Riau, Pattani.
Tome
Peres ahli obat-obatan dari Lisbon yang menghabiskan waktunya di Malaka antara
1512 hingga 1515 yang mengunjungi Sumatera dan pulau Jawa merekam dalam bukunya “Suma Oriental” bahwa dimasa itu
sebagian besar Raja-raja Sumatera beragama Islam mulai dari Aceh menyusur
pesisir Timur hingga Palembang dan sekitar ujung Selatan Sumatera hingga Pesisr
Barat sebagian besar penguasanya masih non Muslim, Menurut catatan Peres di
Pasai ada komunitas pedagang Arab Internasional yang berkembang pesat. Demikian
pula Raja Minangkabau disebut beragama Islam walau belum semua penduduknya
Muslim. Tome Pires mengatakan bahwa setiap hari agama Islam selalu mendapatkan
pemeluk-pemeluk baru di Sumatera.
Ketika
Tome Peres melakukan kunjungannya ke Sumatera di awal abad ke XVI itu, raja
Jambi di pegang oleh Orang Kayo Hitam yang menurut Suto Dilogo Priyayi
Rajosari, Orang Kayo Hitamlah yang mengislamkan ini Jambi. Namun gelaran Raja
belum menunjukan nuansa Muslim. Baru anaknya Pengeran Hilang Diaek memangku
kerajaan bergelar Panembahan Rantau Kapas (1515-1540). Penguasa Jambi bergelar
Sultan baru terjadi di tahun 1615 yaitu masa Sultan Abdul Kahar.
Tampaknya kendati Islam di katakan
masuk ke Indonesia di abad pertama Hijriah atau abad ke 7 M, namun tampaknya
belum ada temuan yang mendukung di kala itu Jambi sudah menganut Islam. Kita
bisa menyebut bahwa para saudagar Arab atau Timur Tengah sudah menyinggahi
pelabuhan Melayu bahkan pada abad IX-X duta utusan kerajaan Melayu di pimpin
oleh Nakhoda yang bernama Muslim dan dapat di katakan Nakhoda itu bukan orang
Jambi.
Naskah Tanjung Tanah atau Kitab
Undang-undang Tajung Tanah yang di temukan Petrus Voorhove tahun 1941 dan
kemudian di perdalam kajiannya oleh Uli Kozok tahun 2002, merupakan naskah
Melayu tertua berasal dari abad ke 14. Naskah ini di tulis dalam bahasa Melayu
berhuruf Pasca-Palawa dan surat incung, yang tersimpan sebagai benda pusaka
oleh masyarakat desa Tanjung Tanah Kerinci. Naskah ini berasal dari Dharmasraya
masa Adityawarman, di tulis oleh Depati Kuja Ali atas perintah sang Maharaja.
Naskah ini merupakan kitab undang-undang yang menetapkan hukum di Kerinci.
Hal yang menarik dalam konteks
bahasan kita adalah bahwa naskah Tanjung Tanah abad ke -14 masa Adityawarman
(1293-1376) di Dramasraya belum atau tidak terdapat kata serapan bahasa Arab
sehingga dapat di simpulkan naskah ini berasal dari masa Pra Islam di Jambi,
apalagi penanggalannya menggunakan tahun saka dan bukan tahun hijriah.14
Keberadaan Adityawarman dalam
khasanah kerajaan Melayu merupakan lanjutan dari Raja-Raja melayu yang semula
berpusat di Muara Jambi yang kemudian pasca Pamalayu (1275) bergeser ke
pedalaman DAS Batanghari sebagai tindakan defensive dari kemungkinan serangan
lanjutan Singosari atau juga pasukan Kubilaikhan dan tak menutup kemungkinan
penghindaran serangan-serangan pasukan Sukothai dari suku-suku laut di perairan
Selat Malaka. Bisa juga pemindahan ibu kota Melayu ke Suruaso Darmasraya di
maksudkan memudahkan pengontrolan tambang emas di hulu DAS Batanghari.
Dengan pertimbangan belum ada serapan
bahasa/pengaruh Arab pada naskah Tanjung Tanah yang diperkirakan di tulis
sebelum tahun 1397 itu, maka Jambi dimasa itu belum Islam kendati saudagar
beragama Islam sejak abad awal Hijrah sudah ke Nusantara. Hal ini di dasarkan
pada adanya teori Islamisasi awal di Indonesia yaitu Islam bersumber dari anak
benua India (teori India), teori Arab, teori Persia dan teori Cina.15
Teori
India (Pijnappl, Snouck Hurgronje, Noquette dan Fatimi) mendasarkan alur
perjalanan orang Arab Mazhab Syarfi`I berimigrasi dan menetap di Gujarat dan
Malabar dan kemudian ke Nusantara. Pada Ahli memberi masa sekitar abad ke XIII
– ke XV dengan penanda adanya batu nisan di bagian tertentu Nusantara berasal
dari Gujarat kendati barbagai argument masih meragukannya.
Teori
Arab yang di ungkap Sir Thomas Arnold, Crawfurd, Nieman dan De Hollander
menyatakan peyebaran Islam di bawa orang Arab Coromandel dan Malabar dengan
penanda kesamaan mazhab Syafi`i. Selain itu lewat India pedagang Arab yang
mendominasi perdagangan Barat-Timur sejak awal abad ke 7 dan 8 M masuk ke
Nusantara. Penguat teori ini bersumber dari Kronik Cina yang menyebut bahwa
menjelang perempat ke tiga abad ke 7 M ada seorang Arab yang menjadi pemimpin
pemukiman Arab Muslim di Pesisir Barat Sumatera.
Historiografi
tradisional Aceh banyak menyebut Islam langsung berasal dari Arab yang di bawa
para pedagang yang juga juru da`wah yang profesional Islam di anut pertama kali
oleh atau berasal dari kalangan penguasa Memang sejak abad pertama Hijriah
sudah ada kontak langsung orang Islam tetapi di perkirakan pengaruh
penyebarannya di Nusantara (yang berawal di Sumatera Bagian Utara) sekitar abad
ke 12 dan 16 M
Teori
Persia yang di kemukakan PA. Hoesin Djajadiningrat menyatakan Islam masuk di
abad ke-13 M dari Persia atas dasar kesamaan budaya seperti acara 10 Muharram
untuk memperingati gugurnya Husain di Karbela. Ada upacara. Tabuik di Pariaman
atau Tabot di Bengkulu. Ada hidangan bubur Suro di Jawa. Demikian juga kesamaan
sistem mengeja huruf Arab. Persamaan batu nisan di Pasai dan di Gresik yang di
pesan dari Gujarat yang merupakan daerah yang mendapat pengaruh Persia Hubungan
dengan Persia ini juga di tandai oleh jalur perdagangan dari teluk Persia ke
pantai Barat India dan ke Nusantara. Teori Persia ini memungkinkan adanya
pendapat bahwa Islam datang ke Nusantara langsung dari Arabia Selatan,
khususnya Yaman dan Hadramaut dan bisa juga dari bangsa Muslim kawasan pengaruh
budaya Persia.
Teori
Cina juga kemudian berkembang pada abad ke-9 M Banyak Muslim Cina dari Kanton,
Zhangzhou, QuanZhou yang datang ke Jawa. Unsur-unsur arsitektur Mesjid Jawa
kuno, makam-makam dan keramik Cina di Laren Jawa Timur mengindikasikan adanya
pengaruh Islam Cina di abad ke-11. bahkan ada yang menyebut beberapa Walisongo
adalah Muslim Cina misalnya Raden Patah yang sebenarnya bernama Cina Jin Bun,
Sunan Ampel sama dengan Bang Swi Hoo, Raden Said/Sunan Kalijaga di
Indetifikasikan sebagai Gan Si Cang16.
Andai
diringkaskan, maka seperti di ungkap Hasan Mu`arif Ambary17
ada tahapan proses Islamisasi di Indonesia yaitu fase kehadiran para pedagang
Muslim yang juga da`i di abad ke 1-4 Hijriah atau abad ke 7-11 M yang ditandai
oleh kegiatan hubungan perdagangan dan bisa terjadi juga adanya hubungan
perkawinan dengan penduduk setempat. Proses ini terjadi terutama di daerah
pesisr Selat Malaka, bagian Pesisir Barat pulau Sumatera, sesuai fungsi selat
Malaka sebagai tempat lalu lintas pelayaran dan perdagangan Ramainya kontak itu
bisa juga terjadi dengan perkaitan kompetisi pelayaran dan perdagangan dari
tiga kerajaan besar yaitu Bani Umayah di Asia bagian Barat, Sriwijaya di Asia
Tenggara dan Dinasti T`ang di Asia Bagian Timur sehingga terbentang hubungan
jalur pelayaran dan perdagangan antara negeri-negeri Arab, Persia, India (Gujarat),
Nusantara dan Cina. Untuk sampai ke fase kedua terbentuknya kerajaan Islam(abad
ke 13-16 M) terjadi proses yang lama baik secara Simbiois maupun Akulturasi,
Faktor Geografis yang terletak paling jauh dari tempat kelahiran agama Islam
maka dapat di mengerti kalau Nusantara termasuk kawasan yang paling akhir
mendapat pengaruh kebudayaan Islam. Penyeberanyapun berlangsung damai di
kalangan penduduk yang sebelumnya telah memeluk agama Hindu atau Budha. Banyak
pedagang dari Gujarat yang karena tingkah laku ketauladanan dan ketaatan mereka
beragama diangkat menjadi pemimpin seperti di Aceh dan Gersik Pada fase ketiga,
agama Islam yang berpusat di Pasai tersebar luas menyusuri Pesisir Sumatera,
Semenanjung Malaka, Jawa, Kalimantan, Lombok, Sulawesi dan Maluku.
Para
penyebar Islam banyak menduduki berbagai Jabatan di kerajaan dan di antaranya
ada yang kawin dengan penduduk setempat. Banyak mesjid yang di bangun para
penyebar agama Islam. Beberapa elemen kebudayaan lokal bernuansa Islami semakin
menyebar. ada Raja dan keluarganya yang di Islamkan, banyak rakyat yang
tertarik karena sosialisasi yang menyentuh hati tanpa pembongkaran akar budaya
setempat. Fase ini berlangsung pada akhir abad ke 16,17 dan abad ke-18 M, dan
awal abad ke 19 M. Ketiga fase ini menurut penulis terjadi dan di alami oleh
Jambi.
Masa
kerajaan Melayu dengan pelabuhan Zabaq atau Muaro Jambi di abad ke-7 M jelas
memberi dan merupakan media persentuhan dan akulturasi agama dan kebudayaan
Islam melalui para pedagang dan ulama Muslim baik dari Arab, Persia, India
(Gujarat) maupun Cina. Sampai pertengahan abad ke-15 sepertinya Jambi masih
sepi dari tinggalan Artefak dan bukti kesejarahan Islam. Munculnya Akhmad Salim
atau Akhmad Barus II yang kemudian di kenal dengan gelar sebagai Datuk Paduko
Berhalo, barulah di toreh sebagai awal betapaknya kerajaan Melayu Islam. Para
keturunanyalah kemudian yang menjadi penguasa kerajaan Melayu Jambi. Sultan
Thaha Saipuddin yang merupakan keturunan ke 17 dari pasangan Datuk Paduko
Berhalo dengan penguasa Jambi Putri Selaro Pinang Masak. Sultan Thaha merupakan
Sultan terakhir yang di daulat Rakyat Jambi sebagai Sultan sampai akhir
hayatnya gugur di medan laga melawan penjajah Belanda di Betung Bedara Tebo
pada subuh hari tanggal 27 April 1904. Makamnya bersemayam di Muaro Tebo dan di
angkat Presiden RI sebagai Pahlawan Nasional 1977 melalui penetapan Kepres
No.079/TK/tahun 1977 per tanggal 24 Oktober 1977.
2.
Peranan Alawiyin di Jambi
Kehadiran Akhmad Salim atau Akhmad Barus II di bumi Jambi ini menjadi Patronase
penguasa local Puteri Selaro Pinang Masak Raja Jambi. Dimasa Orang Kayo
Hitam(Raja ketiga setelah Puteri Selaro Penang Masak) merupakan penguasa local
yang menyebarkan agama Islam yang sekaligus berperan dalam memberi corak
kepemerintahan dengan perlambangan keris Siginjei sebagai penanda pemegang
kekuasaan. Sampai Sultan Thaha Saifuddin tidak diakui oleh Belanda pada tahun
1858 M dan diangkat tiga orang Sultan bayang untuk menggantikannya, Rakyat
Jambi tetap mengakui kedaulatan Sultan Thaha karena keris Siginjei masih tetap
di tangan Sultan Taha kendati Sulthan sendiri telah menindahkan pusat
perlawanannya di hulu DAS Batang hari yaitu di Tanah Garo dan Istana tanah
pilih di Jambi telah di bumi hanguskan karena sultan tidak ingin Istana di
duduki Belanda di tahun 1858 itu.
Tonggak sejarah peran Alawiyin yang dimiliki Jambi adalah naskah yang di
tulis Oemar Ngebi Sutho Dilago Priyayi Rajo Sari yaitu kitab undang-undang
piagam pencacahan dan kisah Negeri Jambi yang berhijrat 1937 M
Pada pasal sila-sila keturunan Raja Jambi tertulis :
“Dan tatkala mati Tun Talanai, ini Jambi tidak beraja lagi, maka turun anak
Raja Pagaruyung ke jambi perempuan nama Tuan Putri Selaro Pinang Masak,
bapaknya Raja Beramah itu beranak tiga orang perempuan semuanya, dan anaknya
yang tertua bernama Tuan Putri Selaro Pinang Masak yang turun ke Jambi menjadi
Raja di tanah Jambi yang bernegeri Jambi di Tanjung Jabung, nikah dengan Datuk
Paduko BErhalo anak Raja dan Setambul.”18
Pada naskah yang berbahasa Melayu beraksara jawi(Arab Melayu gundul) di
ceritakan kisah kedatangan Akhmad Salim atau Akhmad Barus II yang semula akan
ke pulau Jawa. Dari Turki, dua beradik kapalnya di terjang badai di perairan
selat malaka dan terdampar di pulau yang berada di ambang ujung Jabung. Pulau
ini oleh para petani di kenal sebagai Pulau angker atau Pulau hantu, sehingga
banyak sesaji dan patung-patung untuk keberkahan keselamatan bagi para pelaut
yang melewatinya. Kapal sang adik tercampak ke pulau Jawa di selamatkan Ratu
Majapahit sedangkan Akhmad Salim/Akhmad Barus II setelah terdampar di pulau dan
menghancurkan berhala-berhala di sana, di ajak berdiam di Istana. Singkatnya
maka nikahlah dia dengan penguasa Jambi dank arena sikapnya menghancurkan
berhala, mendapatkan gelar Paduko Berhalo19.
Pada pasal
sila-sila dari sebelah Pagarruyung turunan sebelah perempuan di perjelas bahwa
Datuk Paduko Berhalo anak Raja dari negeri Turki. Pada bagian pasal yang sama
di pertegas lagi.
“…..Asalnya
Datuk Paduko Berhalo Raja Turki turunan dari Sultan Saidina Zainal Abidin bin
Saidina Husen binti Fatimah Zahara binti Saidina Rasul menjadi Raja dengan
istrinya namanya Tuan Putri Selaro Pinang Masak, Raja Pagaruyung di tanah Jambi
bernegeri di Tanjung Jabung beranak empat orang dan yang tua bernama Orang Kayo
Pingai yang muda bernama Orang kayo Kedataran yang muda bernama Orang Kayo
Hitam, yang muda bernama Orang kayo Gemuk perempuan”20
Kutipan
diatas merupakan kejelasan bahwa Datuk Pasuko Berhalo itu orang Turki, anak
Raja Alawiyin dan tentu keturunannya sampai ke Sultan Thaha Saifudin adalah
Aliwiyin yang merupakan turunan garis lurus. Dalam sistem pemerintahan
kesultanan Jambi, anak Raja yang sedang berkuasa selalu di persiapkan sebagai Putra
Mahkota dengan menyandang gelar Pangeran Ratu Posisi Pangeran Ratu berada di
bawah Sultan yang sifatnya Operasional Kerajaan. Biasanya Pangeran Ratu tidak
langsung berada di bawah ayahnya yang sedang memerintah. Ada masa permagangan
Pangeran Ratu untuk Sultan pengganti ayahnya yang wafat. Sultan tersebut adalah
adik, kakak atau paman dari Sultan yang wafat yang di tetapkan dalam kerapatan
kekerabatan Sultan. Intrik-intrik dan gerakan bawah tanah dari pihak-pihak yang
tidak setuju dengan pengangkatan Sultan baru diluar garis keturunan langsung
atau penetapan Pangeran Ratu sering menjadi lahan/adu domba VOC atau celah
untuk pembuatan perjanjian monopoli mata dagang yang kemudian beralih pada
campur tangan di pemerintahan kesultanan. Pengangkatan Pangeran Depati Cakra
Negara menjadi Sultan kiyai Gede sebagai bukti campur tangan VOC sebab pangeran
Deputi Cakranegara bukanlah Pangeran Ratu. Pengeran Ratu yang sebenarnya adalah
pangeran Raden Julat yang menyingkir ke Mangun Jayo Tebo dan memproklamirkan
sebagai Sri Maharajo Batu. Beberapa tahun kemudian, Sri Maharaja Batu kembali
ke Jambi memangku Kesultanan Jambi dengan gelar Sultan Suto Ingalogo.
Peralihan
gelar Raja dari panembahan ke Sultan terjadi di abad ke-17 atau tepatnya ketika
Kerajaan Jambi di pegang oleh Sultan Abdul Kahar (1615-1643). Tentu peralihan
ini sangat erat kaitannya dengan peran para ulama baik di Jambi yang tidak
kental lagi, ikatan dengan Raja-Raja Jawa Singosani atau Majapahit Pada masa
akhir kejayaan Majapahit para Pejabat Pemerintahnya, Bergelar panembahan yang
kemudian beralih menjadi Sunan dan kemudian baru menjadi Sultan plus gelar.
Penulis
mendapat kesulitan untuk secara khas dan khusus mendeskripsikan peran Alawiyin
di abad ke-17, karena ketiadaan referensi. Prof.Dr.Azyumardi Azra MA
dalam“Jaringan ulama-ulamanya”banyak membahas Palembang, Aceh dan Jawi(Jawa),
Sumatera Barat bahkan Kalimantan tanpa ada menyinggung atau penyebutan Jambi.
Mungkin sisi pendekatannya yang berbeda sehingga belum terungkap hubungan
jaringan Alawiyin dengan sufisme atau tarekat yang menjadi benang merah
pembahasan buku. “Jaringan ulama-ulama”tersebut. Dari informasi ada yang
menyebut Al Habib Husin bin Ahmad Baragbah ini mempunyai saudara di Kedah
Malaysia. Informasi ini di dapat ketika perbincangan di Kuala Lumpur tahun 2006
bersama Sdr Hasan Kasim SH yang menelisik silsilah leluhurnya dengan sanak
famili di Malaysia. Ketika itu yang menyebut dirinya cicit Al Habib Hasan
Syarifah Rodiah menceritakan ada saudara leluhurnya bernama Al Husen di Jambi
Cerita punya cerita di perkirakan Al Husen di Jambi itu ialah Al Habib Husen
bin Ahmad Baragbah yang juga di kenal sebagai Tuanku Keramat Tambak.
Penentuan
waktu kehadiran keduanya di Semenanjung belum dapat di telusuri selain dengan
perkiraan 6-7 keturunan dari sekarang atau antara 200-300an tahun lalu.
Penerawangan kita tentu berkisar di abad ke-17an. Elsbeth Loeher-Scholten
mencatat pada tahun 1616 Pelabuhan Jambi sudah dipandang sebagai pelabuhan
terkaya kedua di Sumatera setelah Aceh21.
Perdagangan
lada merupakan komoditas yang sangat menguntungkan. Pada mulanya pihak
kesultanan(yang juga bertindak sebagai pengumpul dan penjual)melakukan
perdagangan dengan orang-orang Portugis, perusahaan dagang Inggris dan juga
Hindia Timur Belanda. Para perusahaan dagang tersebut juga melibatkan
orang-orang Cina, Melayu, Bugis dan Jawa. Dari monopoli perdagangan dan bea
Impor Ekspor inilah para Sultan Jambi menjadi kaya dan membiayai perjalanan
Pemerintahannya. Dengan posisi demikian Jambi ikut berperan aktif dalam
hubungan Internasional, Pada tahun 1670 an keperkasaan Jambi sebanding dengan
Palembang dan Johor. Kondisi inilah yang menarik para pedagang dan ulama datang
ke Jambi, diantaranya Al-Habib Husen setelah beberapa saat tinggal di Malaka
atau Johor yang sekaligus membekali dengan kemampuan berbahasa Melayu yang
merupakan media pengikat dengan masyarakat Jambi. Ada juga informasi bahwa
Al-Habib Husen sebelum ke Jambi beliau menetap dan kawin di Palembang. Beberapa
tahun kemudian baru pindah dan menetap di Pecinan Seberang Kota Jambi.
Catatan
sayyid Salim bin Abubakar Al Muhdhor tahun 2005 menerakan tahun 1138 H atau
1708 M sebagai tahun kehadiran Said Husen bin Abdurrahman bin Umar bin Ahmad
bin Muhammad bin Abdullah bin Alwi bin Al Faqih Al Muqaddam bin Muhammad bin
Ali Ba`alawi bin Muhammad bin Shohibu Marbat bin Ali Al Khali Qosam bin Alwi
bin Muhammad bin Alwi bin Abdullah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad An
wajib bin Ali al_Uraidhi bin Ja`far As-shodig bin Muhammad Al_Baqir bin Ali
Zainal Abidin bin Husain bin Fatimah binti Rasulillah SAW. Dari silsilah nama
ini tampak jelas ada hubungan leluhur lansung dengan Akhmad Salim/Akhmad Barus
2 atau yang disebut dalam catatan Sayyid Salim sebagai Akhmad Ilyas. Berarti
Said Husain juga adalah Alawiyin yang menyebarkan agama islam di Jambi.
Catatan
Sayyid Salim juga menceritakan kehadiran Said Husin bin Ahmad Baragbah bersama
anaknya bernama Said Qosim tinggal di kampung Arab Melayu. Selama 35 tahun ia
menurunkan ilmu ajaran Islam dan setelah wafat di tahun 1173 H(1743 M) di
lanjutkan oleh anak dan para muridnya. Makamnya di perkuburan khusus keturunan
Ahlul Bait Rasulullah SAW di Tahlul Yaman yang dikenal juga sebagai makam
Keramat Tambak Nama Tambak di lekatkan di sana karena makam ini di tinggikan
dengan penimbunan tanah yang disebut masyarakat sebagai Tambak. Sayyid Qosim
wafat di tahun 1186 H(1756 M) dan di makamkan di samping makam ayahnya. Secara
Archeologi pihak BP3 Jambi juga mengidentifikasi adanya Nisan batu type Aceh
abad ke 18 dan 19 yang di prediksikan berasal dari Semenanjung Malaka serta
Nisan kayu dengan angka tahun 1231 H atau 1805 M di Mudung Laut.
Dari catatan
tersebut dapat di katakan kehadiran Sayyid Husen ke Jambi setelah berdamainya
kembali kesultanan Jambi dengan Johor yang selama bertahun-tahun (dari tahun
1667-1673) terlibat dalam aktifitas saling serang Jambi berhasil menguasai
Johor dengan bantuan Palembang dan kemudian menyerahkan kembali kekuasaan atas
Johor karena desakan VOC di tahun 1679 Akhirnya sang Sultan Jambi Sri Ingologo
dengan licik ditangkap kompeni di bawa ke Batavia tahun 1688 dan kemudian di
buang ke Banda tahun 1690. Aksi campur tangan VOC ini membuat perpecahan di
kalangan bangsawan Keraton yang berebutan tahta dan biasanya perdamaian di
akhir dengan penanda tangan kontrak perjanjian yang jelas menguntungkan
kepentingan kompeni. Kita tidak tahu dalam perang saudara yang mengakhiri
kekuasaan sultan sesudah tahun 1800 ikut di warnai oleh peran Alawiyin, karena
pada tahun 1811 penduduk Jambi di pimpin para saudagar Arab dan suku Rajo Empat
Puluh melawan Sultan Mahidin yang di picu oleh sikap dan perilaku perlakuan
isteri Sultan terhadap anak-anak perempuan para saudagar Arab. Pada tahun 1830
keluarga keturunan Arab baru berjumlah 20 orang dari 600 jiwa penduduk kota
Jambi. Keterlibatana para ulama dapat di mengerti karena bukan hanya
menngajarkan tata cara ibadah untuk akhirat saja, tetapi juga mengajarkan tata
cara bermuamalah, beriteraksi social dalam urusan dunia. Konteksnya terwujud
dalam perannya sebagai penasehat Sultan. Selaku Penasehat tentu terkait pula
pada ikatan emosional pada salah satu pihak dalam suatu pertikaian keluarga
keraton. Setelah tahun 1830 itu tidak ada lagi catatan kompeni terhadap
kelompok Alawiyin terhadap kesultanan. Sampai masa Sultan Thaha mengadakan
perlawanan dari pedalaman, maka pangeran Wirokusumo seorang pejabat dari
Kerapatan Patih Dalam yang juga besan Sultan yang nama sebenarnya Al-Habib As Sayyid
Idrus bin Hasan Al-Jufri di beri tugas mengordinasikan pemasokan bahan dan
peralatan perjuangan ke pedalaman. Pangeran Wirokesuma berkedudukan di Olak
Kemang Seberang kota yang rumahnya(di kenal sebagai rumah batu) sebagai base
camp bagi Sultan bila menyusup ke Jambi atau pembantu-pembantu lainnya yang di
tugaskan ke Jambi.
sumbernya dari mana mbak?
BalasHapussangat bermanfaat :D
BalasHapusreferensinya dari mana mbak
BalasHapusizin share y dek
BalasHapusReferensinya dari buku apa
BalasHapus